Thursday, May 7, 2009

MAkNA LaMBANg DEwi KEAdiLan


Dewi Keadilan

Lambang keadilan adalah sosok seorang dewi yang matanya tertutup. Tangannya yang sebelah memegang pedang, sementara yang sebelah lagi memegang neraca. Ketiga simbol tersebut, yaitu “mata yang tertutup”, “pedang” dan “neraca” adalah lambang keadilan yang ditegakkan secara tegas dan tidak pandang bulu, serta berlaku sama bagi setiap orang.

Sayangnya, di Indonesia, keadilan mungkin tinggal sebagai lambang saja. Filosofi pedang keadilan telah dipatahkan oleh kekuasaan. Lembaga hukum telah kehilangan senjata utamanya, yaitu nurani Sang Dewi Keadilan. Prinsip keadilan, dengan sangat jelas telah dipengaruhi oleh kekuasaan
Masyarakat kini menyaksikan bagaimana hukum hanya berlaku pada masyarakat biasa, sementara untuk para petinggi, hukum dapat dengan mudah “dibelokkan”, sesuai dengan kepentingan yang ada. Masyarakat juga diberikan pelajaran bahwa kekuasaan sesungguhnya begitu kuat, sehingga pedang keadilan sekalipun, dapat patah manakala berbenturan dengannya. Benarlah suatu adagium bahwa hukum dapat diidentikkan dengan kekuasaan. “Hukum adalah saya!”, demikian doktrin yang dianut para pemegang kekuasaan yang absolut. Penganut doktrin ini merayakan kekuasaan sebagai sesuatu yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat, dan tidak dapat dilawan oleh apapun dan siapapun.

Di Indonesia, besar-kecil kekuasaan yang dimiliki seseorang jelas sangat menentukan luasnya pengaruh atas nilai keadilan. Keadilan dapat dibeli dengan kekuasaan, dengan pengaruh uang dan jabatan yang dijanjikan oleh para penguasa terhadap aparat penegak keadilan. Dalam kondisi inilah keadilan hanya menjadi milik para penguasa. Para koruptor, misalnya, hampir tidak pernah dapat diseret ke pengadilan. Kekuatan hukum menjadi mandul manakala pelakunya justru menjadikan hukum hanya sebagai lips service belaka. Kekuasaan dapat mempengaruhi proses peradilan karena kekuasaan dapat dipertukarkan dengan uang, kesempatan dan jabatan. Sementara itu, berbagai kasus-kasus kecil amatlah nyinyir “dikejar” oleh aparat penegak hukum. Maling, pencopet, pencuri, penyerobot tanah, atau pemerkosa, hampir semuanya “tidak berkutik” ditebas oleh pedang hukum, sementara keadaan yang sebaliknya terjadi manakala yang melakukan adalah pemegang kekuasaan.

Kenyataan inilah yang kemudian menohok rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Setelah reformasi berjalan hampir 11 tahun, yang terjadi kemudian terasa amat pahit. Masyarakat kini kemudian menjadi semakin kecewa, dan bukan tidak mungkin menjadi apatis pada hukum. Negara yang tidak mampu menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum, cepat atau lambat akan mengalami kebangkrutan moral dan menuai kekacauan. Kekacauan yang dimaksud adalah kekacauan yang timbul karena ketidakpercayaan masyarakat pada institusi hukum. Ketiadaan kepastian hukum akan menghasilkan suatu konflik terbuka di masyarakat. >

Baca selengkapnya!